Selamat Datang dan Tengkyu!
Terima kasih telah mengunjungi blog saya. Senang bisa berinteraksi dengan Anda.
Mungkin dengan media ini lebih mudah bagi saya dan Anda berinteraksi lintas ruang dan waktu.
Siapa pun Anda, mari berbagi gagasan dan inspirasi!
b+
Nurhidayanto
Mungkin dengan media ini lebih mudah bagi saya dan Anda berinteraksi lintas ruang dan waktu.
Siapa pun Anda, mari berbagi gagasan dan inspirasi!
b+
Nurhidayanto
Sabtu, 18 April 2009
Sepasang Kesetiaan
Saat itu saya dalam perjalanan pulang kampung. Karena trayek bis hanya sampai kota Ngadirojo, sebuah kota kecil sekitar dua puluh kilo dari tempat tinggal saya, saya harus nyambung angkutan lokal dari Ngadirojo ke Baturetno.
Matahari belum sempurna terbit, saat saya memutuskan memilih sebuah minibus, berbaur dengan para pedagang kerupuk, serabi, tempe, bahkan kambing dan ayam. Untuk kambing, jelas tempatnya terpisah, ditempatkan di bagasi. Sementara, beberapa keranjang berisi ayam yang tak berhenti berkeciap berikut bau kotorannya yang memengapkan ruangan minibus, tumpang tindih dengan kardus-kardus berisi kerupuk dan makanan ringan lainnya, menjejali pintu utama.
Setelah minibus berjalan sekitar lima belas menit, dua orang penumpang naik. Seorang nenek tua yang terlihat sedang sakit, berjalan dengan menggunakan tongkat bambu wulung yang dipotong seadanya. Melihat warna mengilap di bagian pegangan tongkat, saya menyimpulkan bahwa tongkat itu telah cukup lama dipakai sehingga meninggalkan bekas yang khas. Seorang kakek di belakangnya. Tak kalah renta. Saya menaksir usianya sekitar awal delapan puluhan.
Minibus penuh sesak. Tak ada bangku kosong. Sang nenek tertatih-tatih saat menaiki minibus. Bahkan, sang kondektur harus mengangkatnya dengan susah payah, sementara si kakek menyusul di belakangnya, membantu sang kondektur—kendati saya yakin, bantuan ‘tenaga’ si kakek tidak berpengaruh apa-apa, malah mungkin justru merepotkan.
Saya tawarkan tempat duduk saya kepada si nenek, namun ia ragu-ragu. Hanya senyuman—saya merasa senyum ini begitu sedap dan ikhlas—yang dihadiahkannya. Saya mencoba meyakinkannya. “Silakan, Mbah! Saya nggak apa-apa, kok, berdiri.” Masih dengan ragu-ragu, si nenek kemudian berucap bahwa ia hendak periksa ke dokter ‘X’, seorang dokter yang cukup terkenal di Baturetno.
Ketika sekali lagi saya menawarkan bangku dengan bergegas berdiri, ia menatap kedua kakinya yang terlihat kaku. “Saya tidak bisa duduk, ” katanya. “Boleh untuk si Mbah saja?” ia menunjuk sang kakek. Tentu saja, saya mengangguk, mempersilakan duduk sang kakek. Dan, setelah itu, yang saya lihat adalah hal yang sungguh dramatis. Sang nenek, karena kedua kakinya tidak bisa ditekuk, ternyata memang benar tidak bisa duduk dengan wajar. Suaminyalah yang duduk, dan setengah memangku isterinya itu dengan penuh kasih. Sebelah tangan renta keriputnya—yang tak bisa menyembunyikan gemetar—berpegangan pada sandaran bangku, sedangkan sebelah lagi melingkar di tubuh renta isterinya. Sedangkan sang nenek, berpegangan pada pundak lelakinya.
Saya tak tahu pasti apa yang lintas dalam pikiran masing-masing. Yang saya lihat hanyalah ‘kesempurnaan’ cinta seorang manusia. Saya begitu terharu dan merasa tak akan mampu menaksir kedalaman cinta keduanya. Cinta yang bertahan hingga di usia senja. Saya hanya sanggup mereka-reka dialog seperti apa yang layak untuk adegan semenakjubkan ini. Mungkin begini:
Si lelaki, dengan bahu kokoh dan lengannya yang perkasa, menawarkan rasa aman kepada isterinya. “Tenanglah, Sayang, tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi. Kau akan aman berada di sampingku.”
Sementara si wanita, dengan kepasrahan seorang isteri, menyandarkan kepalanya di dada bidang itu, “Bawalah aku ke mana kau pergi, Kekasih! Sebab aku tahu, kaulah waliku di akhirat nanti. Bawalah, dan aku akan serta. Tak peduli sakit ini. Tak usah khawatir, sebab aku tak mengeluhkannya. Bukankah kita hanya semata berusaha mencari kesembuhan dari Alloh swt.?”
* * *
Saya masih melihat—dan tak ingin melewatkannya—saat sang kakek menuntun isterinya menyeberang jalan. Ya, sementara banyak pasangan yang cintanya meredup saat memasuki usia kepala lima, atau malah jauh sebelumnya.
Saya teringat bagaimana banyak pasangan, di hari tuanya memilih hidup terpisah. Bukan bercerai. Sang ibu mengikut tinggal di rumah anaknya, sedang si kakek di rumah anaknya yang lain. Kalaupun ada yang lebih ‘harmonis’ dari itu, tetap saja saya akan begitu sulit mendapatkan sepasang kakek-nenek membahasakan cinta dengan begitu romantis.
Diadaptasi dari sebuah artikel berjudul "Cinta di Hari Tua",
yang saya (maaf) benar-benar lupa sumbernya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengenai Saya
- Caknur Nurhidayanto
- Bantul, DI. Yogyakarta, Indonesia
- Saya percaya setiap orang hidup untuk sebuah misi, amanat dan titipan Tuhan. Saya memiliki impian terbaik untuk orang-orang yang saya cintai, dan ingin meraih impian saya dengan membantu sesama menggapai impiannya. Mari berbagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar